PDM Kabupaten Sikka - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Sikka
.: Home > Artikel

Homepage

Abah Rasyid Mendirikan Sekolah Muhammadiyah 70 Persen Siswanya Katolik

.: Home > Artikel > PDM
05 Maret 2019 13:56 WIB
Dibaca: 898
Penulis : admin

Penerima penghargaan Maarif Award 2018 Abdul Rasyid Wahab saat ditemui di gedung Metro TV, Jakarta, Minggu (27/5/2018).Abdul Rasyid Wahab merupakan sosok yang tak kenal lelah mengabdikan dirinya dalam bidang kemanusiaan di usianya yang sudah menginjak 81 tahun. Bagaimana tidak, rekam jejak pengabdiannya di Kabupaten Sikka, Maumere, Nusa Tenggara Timur begitu beragam.

Abdul Rasyid Wahab, penerima penghargaan Maarif Award 2018. (foto: kompas.com)

 
 

“Kebersamaan merupakan kunci utama yang perlu dipertahankan dalam menghadapi berbagai persoalan. Oleh karena itu, penting bagi sesama umat beragama untuk saling bertatap muka dan berdialog. Hal itu demi membangun rasa toleransi yang kuat. "Dari silaturahim itu akan lahir saling tolong-menolong. Di situlah keberhasilan kita untuk suatu usaha yang menuju pada kemajuan.

 

Abdul Rasyid Wahab merupakan sosok yang tak kenal lelah mengabdikan dirinya dalam bidang kemanusiaan di usianya yang sudah menginjak 81 tahun. Bagaimana tidak, rekam jejak pengabdiannya di Kabupaten Sikka, Maumere, Nusa Tenggara Timur begitu beragam.

 

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Abdul Rasyid Wahab atau yang biasa akrab disapa Abah Rasyid tak hanya dikenal sebagai promotor toleransi di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT).

 

Pengabdiannnya dalam kemanusiaan juga mencakup pada bidang pendidikan dan kesehatan. Abah Rasyid menaruh perhatian khusus dalam persoalan kemiskinan dan kesehatan. Ia menilai pendidikan dan kesehatan merupakan jawaban dalam menuntaskan persoalan kemiskinan.

 

"Di mana ada faktor kemiskinan, di situ sangat bermasalah, dan kemiskinan ekonomi," kata Abah Rasyid kepada awak media di Metro TV, Jakarta, Minggu (27/5/2018).

 

Ia juga menyoroti persoalan layanan kesehatan dan kemiskinan moral yang menghambat perkembangan masyarakat setempat. Dari persoalan itu, langkah pertama yang ditempuh adalah mendorong pemberdayaan pendidikan. Ia mempelopori terbentuknya lembaga pendidikan Muhammadiyah. Mahasiswa IKIP Muhammadiyah 70 persennya merupakan umat Katolik. 50 persen dosennya juga beragama Katolik.

 

Di sekolah Muhammadiyah, mulai tingkat SMP hingga SMA sebagian besar dihuni oleh siswa-siswi dari kalangan Katolik.

 

Abah Rasyid juga mendirikan panti asuhan. Panti ini didirikan akibat rasa ibanya atas bencana yang menimpa penduduk di Pulau Babi yang kebetulan mayoritas umat Islam. Ia menemukan 360 anak-anak korban terlantar. Dari anak-anak yang diasuhnya, sebagian sudah ada yang berhasil menempuh pendidikan hingga tingkat sarjana. Kini panti asuhan itu dilanjutkan oleh anaknya, Ihsan.

 

Dalam bidang penanganan bencana alam, Abah Rasyid pernah menjadi Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana bencana di Pulau Palue tahun 1981. Ia turun tangan dalam melakukan relokasi dan evakuasi masyarakat setempat selama dua bulan.

 

Pada tahun 2013, terjadi letusan Gunung Rokatenda di Pulau Palue. Ia memimpin tim Muhammadiyah Disaster Management Center dalam penanggulangan bencana letusan, mulai dari pemberian bantuan, memberikan hiburan kepada para pengungsi hingga memberikan bimbingan pendidikan kepada anak-anak yang mengungsi.

 

Terkait bidang kesehatan, Abah Rasyid juga berhasil mewujudkan Kapal Kemanusiaan. Kapal itu merupakan wujud mimpinya agar masyarakat Kabupaten Sikka yang tersebar di 8 pulau kecil bisa mendapatkan akses layanan kesehatan yang memadai. "Kita kebetulan penduduk di sekitar itu ada pulau-pulau, itu lebih lagi masalah kemiskinannya, terutama masalah kesehatan sehingga kita membuat satu kapal yang multifungsi, yaitu kapal kemanusiaan," kata dia.  

 

 

Merawat Kebersamaan dalam Kebinekaan

 

Abah Rasyid juga hidup di antara kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Tak sulit baginya dalam bermusyawarah ketika ada perbedaan.

 

Bersama umat Katolik pun, Abah Rasyid selalu berinteraksi dengan mereka. Ia aktif menghadiri berbagai undangan dari pihak manapun, termasuk dalam perayaan natal. Umat Katolik menjaga Abah Rasyid agar tidak melanggar ajaran agama yang dianut Rasyid, begitupun sebaliknya. "Saya renungkan bahwa saya selalu berada dalam kebersamaan, di situlah saya merasa bermakna. Jadi bukan saya sendiri, tapi banyak orang yang sama-sama dalam kebersamaan ini. Kami sama-sama turun untuk menekankan pentingnya menjaga kebersamaan ini," kata dia.

 

Ia berpesan kepada seluruh masyarakat Indonesia sekarang, kebersamaan merupakan kunci utama yang perlu dipertahankan dalam menghadapi berbagai persoalan. Oleh karena itu, penting bagi sesama umat beragama untuk saling bertatap muka dan berdialog. Hal itu demi membangun rasa toleransi yang kuat. "Dari silaturahim itu akan lahir saling tolong-menolong. Di situlah keberhasilan kita untuk suatu usaha yang menuju pada kemajuan," katanya.

 

Untuk diketahui, Abah Rasyid merupakan penerima penghargaan Maarif Award 2018 dari Maarif Institute. Ia hanya satu-satunya orang yang dianggap layak oleh dewan juri untuk menerima penghargaan tersebut.

 

 

Mengenal Abah Rasyid, Peredam Konflik dan Perekat Umat Beragama di Tanah Sikka

 

Abdul Rasyid Wahab merupakan sosok yang tak kenal lelah mengabdikan dirinya dalam bidang kemanusiaan di usianya yang sudah menginjak 81 tahun. Bagaimana tidak, rekam jejak pengabdiannya di Kabupaten Sikka, Maumere, Nusa Tenggara Timur begitu beragam.

 

"Usia saya 81 tahun, tapi semangatnya 18 tahun," ujar Rasyid sembari tertawa di sela-sela malam penganugerahan Maarif Award 2018 di gedung Metro TV, Jakarta, Minggu (27/5/2018) malam.

 

Pria yang akrab disapa Abah Rasyid ini telah melakukan berbagai perubahan dalam bidang kemanusiaan, mulai dari meredam konflik umat gereja Katolik, memimpin operasi kemanusiaan dalam bencana alam, membentuk lembaga pendidikan Muhammadiyah hingga mendorong adanya kapal kemanusiaan.

 

Pengabdiannya dalam kemanusiaan mengantarkannya menerima penghargaan Maarif Award 2018 dari Maarif Institute. Ia satu-satunya yang dianggap layak menerima penghargaan dari tim dewan juri. Saat Indonesia dikenal sebagai negara dengan Muslim mayoritas, ia harus hidup di tengah umat Katolik mayoritas.

 

Situasi itu tak lantas membuat Abah Rasyid mengurungkan niatnya untuk mengabdi dengan sesama umat beragama. "Memahami persoalan yang dihadapi memang inspirasi saya adalah dari pengalaman saya dan agama. Saya dari dulu sekolahnya di sekolah Katolik. Jadi saya mengenal mereka, mereka mengenal saya," katanya.  

 

Konflik Tahun 1995 terjadi pencemaran Hosti di Maumere. Pada waktu itu seorang pemuda dari luar Pulau Flores masuk ke dalam suatu gereja diajak teman-temannya yang beragama Katolik. Pemuda itu ikut dalam komuni Hosti. Namun atas kesalahpahaman, ia tidak memakan roti Hosti tersebut dan justru meremasnya. Peristiwa itu memicu amarah umat Katolik setempat dan peristiwa itu disalahgunakan dengan mengembangkan bahwa Islam telah menghina peristiwa Hosti tersebut.

 

Kerusuhan antarumat pun tak terhindarkan. "Kita tidak tahu pelaku itu siapa. Ini SARA. Saya keliling dan beri semangat umat Muslim untuk tetap bertahan (tidak terpancing). Saya hanya ikut saja mereka dan mengajak supaya jangan dendam," cerita Abah Rasyid. Ia pun keliling menengok jemaah untuk meredam tensi konflik yang memanas. 

 

Di tahun 2002, peristiwa ini terulang kembali. Seorang anak buah kapal turis "Monalisa" memasuki gereja Katolik Santo Josef saat misa kudus. Saat menerima hosti, orang tersebut juga merusaknya. Situasi itu kembali menimbulkan amarah dan konflik. Sebagian kantor Polres Maumere dan sejumlah warung terkena amuk massa yang mengejar anak buah kapal tersebut yang lari ke pelabuhan. Abah Rasyid pun kembali keliling menemui umat setempat untuk meredam gesekan yang ada.  

 

Juru Damai Dari peristiwa-peristiwa itu Abah Rasyid semakin dipercaya oleh umat Katolik dan umat Islam sebagai juru damai dan perekat keduanya. Kepercayaan itu ditunjukkan dengan terpilihnya Abah Rasyid sebagai pimpinan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang diketuai oleh pihak dari keuskupan. Abah Rasyid bersyukur atas dukungan komunitas katolik. Sebab, ia sudah sejak lama hidup dan bergaul di dalam masyarakat mayoritas yang beragama Katolik.

 

Untuk mendobrak sekat-sekat ketika berinteraksi, Abah Rasyid memanfaatkan nilai budaya Sikka di Maumere. Budaya orang Sikka sangat menjunjung tinggi silaturahim. "Budaya orang Sikka itu sebenarnya kalau kita datang ke rumah (orang lain), mereka merasa terhormat jadi mereka bisa mencurahkan apa yang mereka punya," katanya.

 

Budaya masyarakat Sikka, kata dia, adalah budaya tegur sapa. Jika seseorang melewati rumah orang lain, tuan rumah akan menawarkan untuk mampir bertamu. Bagi seorang Abah Rasyid, kebersamaan dalam kebinekaan adalah segalanya. Ia selalu yakin kebersamaan menjadi kunci untuk menyikapi perbedaan dan menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.

 

 

Sumber: kompas.com dan kompas.com

Penulis: Dylan Aprialdo Rachman   editor: Diamanty Meiliana

Judul asli: Kisah Abah Rasyid Mendirikan Sekolah hingga Mewujudkan Kapal Kemanusiaan


Tags: AbahRasyidMendirikanSekolahMuhammadiyah70PersenSiswanyaKatolik , MuhammadiyahSikkaNTT

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website